A. Rumusan Masalah
Korupsi sumber daya alam sebagai kejahatan serius (extra ordinary crime) yaitu penyalahgunaan wewenang mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan diri atau sekelompok orang. Korupsi sumber daya alam dapat dikatakan sebagai kejahatan yang melanggar hukum tetapi lebih juga karena akibat yang ditimbulkan baik jangka panjang maupun jangka pendek sangat besar. Kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya berkaitan dengan negara, masyarakat, individu tetapi juga terkait dengan seluruh umat manusia dan juga lingkungan. Mengenai dari tindakan korupsi sumber daya alam pada sektor pertambangan perkara-perkara korupsi menjadi sulit dibuktikan karena negara turut ambil bagian, oleh karena itu tindakan korupsi adalah permasalahan signifikan yang masih merekat di hampir segala kehidupan sosial politik Indonesia.
Dewasa ini korupsi telah didefinisikan sebagai tindakan menyalahgunakan kewenangan dan kesempatan perorangan atau kelompok atas jabatan yang dimilikinya demi keuntungan pribadi dan berpotensi merugikan perekonomian negara termasuk tindak penyuapan, kolusi, pemerasan hingga pencucian uang, tetap saja aksi terkutuk itu menjelma menjadi praktik keseharian bagi masyarakat negeri ini. Ragam penelitian turut menunjukan betapa tindak korupsi masih merajalela dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam keseharian praktik pemerintahan. Pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan berbagai aspek pembangunan yang sangat mempengaruhinya seperti aspek hukum, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dengan lahirnya instrumen hukum berupa peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai alat pemberantasan korupsi telah menunjukkan kemauan politik penyelenggara negara untuk melawan korupsi.1
Kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalam rumusan peraturan perundang-undangan khususnya kekurang sempurnaan perumusan pengertian delik yang merupakan salah satu contoh bahwa pemberantasan korupsi memerlukan upaya yang tidak saja bersifat sporadis dalam bentuk perlawanan dan tindakan nyata, namun juga upaya yang lebih terarah dalam perumusan instrumennya. Penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam pada umumnya mencakup penyalahgunaan pemberian dan pelaksanaan ijin, penyalahgunaan pelaksanaan kontrak, serta penyalahgunaan wewenang. Upaya pencegahan (preventif) penyimpangan/atau korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam yang dibentuk oleh Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan Tim Pengkajian SPKN melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan
korupsi pada pengelolaan sumber daya alam meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas sistem pengendalian dan penerapannya, yang diarahkan sebagai langkah untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang terjadi di PT. Freeport McManon.
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa secara khusus mengenai regulasi dan kelembagaan wajib untuk membentuk tim dan menerapkan upaya – upaya yang berkaitan dengan permasalahan ini agar implementasi dari regulasi tersebut dapat berjalan baik dan benar serta dapat memberikan dampak yang optimal bagi masyarakat di bumi Papua.
B. Pengertian Tindakan Korupsi Sumber Daya Alam
Secara garis besar bahwa tindakan korupsi menurut sifat kerjanya adalah suatu penyalahgunaan kekuasaan (yang telah dipercayakan) untuk kepentingan pribadi, dan apabila tindakan tersebut dikaitkan dengan sektor sumber daya alam, maka yang terjadi adalah bentuk-bentuk tindakan pengundulan hutan, perataan gunung, dan pengambilan hasil tambang yang berlebihan untuk kepentingan pribadi. Hal ini tentunya sangat berdampak negatif terhadap ekosistem sumber daya alam itu sendiri. Mengapa sumber daya alam adalah lahan subur bagi tindakan korupsi? Karena sumber daya alam memiliki kemampuan lingkungan untuk perikehidupan semua makhluk hidup yang meliputi ketersediaan untuk memenuhi kebutuhan dasar demi menjaga tingkat kestabilan sosial. Selain itu mengenai keuntungan yang dapat dikeruk dari penghasilan
sumber daya alam itu sendiri sangat menggiurkan dalam bidang ekonomi, apabila hal tersebut tidak terjaga dengan baik maka dalam pengolahannya akan terbukanya indikasiindikasi korupsi itu dilakukan.
Dari sejumlah besar negara-negara mitra dalam kerjasama pembangunan yang kaya akan sumber daya alamnya termasuk Negara yang berkembang seperti Indonesia sebagai pemegang predikat ke 4 (empat) didunia sebagai Negara yang menyuburkan tindakan korupsi menciptakan tantangan tersendiri dalam mengatasi permasalahan ini. Pada mulanya masalah sumber daya alam manusia merupakan masalah alami yang terjadi sebagai akibat dari proses alam, namun dalam perkembangannya semakin lama
semakin besar, meluas, dan serius.2
Masalah tersebut menimbulkan tantangan khusus juga bagi masyarakat, apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) maka oleh sebab itu dalam regulasi pemerintah dirasa sangat perlu untuk menegaskan dalam pelaksanaan kemandirian dan keberdayaan masyarakat mengutamakan eksistensi masyarakat secara luas tidak hanya dalam tubuh pemerintah saja, namun di tepatkan kepada masyarakat secara luas. Sumber daya alam memiliki nilai komersial yang tinggi, dan tidak sedikit yang dijadikan target utama untuk dijarah keuntungannya, karena hal tersebut diatur oleh pengaturan yang rumit, sekaligus lemah, sehingga rentan untuk dimanipulasi yang berujung pada tindakan korupsi dari pihak-pihak tertentu. Risiko dari tindakan korupsi tersebut tidak hanya berdampak pada beberapa sektor sumber daya alam non-terbarukan saja, seperti minyak bumi, gas, mineral dan logam, namun juga pada sumber daya terbarukan, seperti hutan, perikanan dan lahan, yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan besar, namun pengaruh ekonomi dan sosiologisnya akan berdampak pula terhadap negara. Noughton dan Larry L. Wolf mengartikan lingkungan hidup dengan semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme.3 Sejauh ini, dengan banyaknya pertambangan asing yang hadir di Indonesia terasa memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap pengaruh lingkungan yang kian menjadi rusak, hal ini bersinggungan dengan maraknya kegiatan perlawanan terhadap pengerusakan linkungan yang di gencarkan oleh lembaga-lambaga swadaya mengenai lingkungan.
Bumi Papua ialah salah satu contoh sasaran bagi perusahaan pertambangan asing PT. Freeport McMoran Indonesia yang mengeruk hasil bumi berupa emas, tembaga, dan perak dalam jumlah terbanyak di dunia. Aktivitas pertambangan PT. Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua telah dimulai sejak tahun 1967 tersebut hingga saat ini, atau telah berlangsung selama 42 (empat puluh dua) tahun lamanya. Selama ini kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi
perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi Indonesia.
C. Permasalahan Freeport McMoran serta Regulasi Kelembagaan sebagai Bentuk Strategi Pemberantasan Korupsi di Bumi Papua
Diawali dengan penandatanganan Kontrak Karya (KK) I Pertambangan antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport pada tahun 1967, yang kemudian menjadi landasan bagi perusahaan ini untuk mulai melakukan aktivitas pertambangan di Indonesia. Selain itu, kontrak karya juga menjadi dasar penyusunan bagi Undang-Undang tentang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau 8 (delapan) bulan berselang setelah penandatanganan Kontrak Karya tersebut. Pada Maret 1973, Freeport memulai melakukan penambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 (tiga ratus enam puluh) meter. Kemudian Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, seperti di Grasberg yang masih berlangsung hingga saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah tersebut, sekitar 7,3 (tujuh koma tiga) juta ton tembaga dan 724, 7 (tujuh ratus dua puluh empat koma tukuh) juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli
2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 (dua koma empat) kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800 (delapan ratus) m. Diperkirakan terdapat 18 (delapan belas) juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 (seribu empat ratus tiga puluh) ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.4
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/atau BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg di Papua. Kerusakan lingkungan tersebut telah mengubah bentang alam seluas 166 (seratus enam puluh enam) km persegi di daerah aliran Sungai Ajkwa. Sampai saat ini tidak hanya dengan mengeksploitasi hasil sumber daya alam itu saja, tapi juga terkait dikirimkannya surat yang ditulis oleh Direktur International Affairs, United Steelworkers terhadap Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada tanggal 1 November 2011 sebagai bentuk upaya strategi dalam pemberantasan tindakan korupsi yakni dengan disegerakannya tindakan penyelidikan terhadap Freeport bahwa apakah perusahaan tersebut telah melanggar Undang-Undang Foreign Corrupt Practices Act dengan melakukan tindakan penyuapan jutaan dolar terhadap Kepolisian Indonesia sebesar Rp. 1.250.000 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) per bulan untuk setiap perorangan dengan jumlah sekitar 635 (enam ratus tiga puluh lima) polisi dan personil militer, serta menaikkan seperempat persen dari gajinya.5
Sudah jelas hal tersebut adalah tidak dibenarkan oleh Perundang-Undangan Praktik Korupsi Asing di dunia bahwa dengan dalih meminta keamanan yang sebenarnya itu adalah kewajiban polisi atau militer untuk melindungi operasi kinerja perusahaan tersebut. Dengan kegiatan tersebut, bahwa hal itu dijadikan suatu alasan bahwa perusahaan tadi tidak melakukan suatu tindak pidana korupsi. Kondisi Peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang tertulis, dan dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum. Dalam hal ini seharusnya peraturan kebijakan yang setidaknya sebagai bentuk peraturan yang didekatkan oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus juga dapat diterapkan secara optimal, mengenai permasalahan yang dipaparkan diatas bahwa pejabat keamanan pemerintah seperti polisi maupun militer yang terlibat dengan kasus penyuapan juga dapat dikenai sanksi pemidanaan, karena hal ini peraturan kebijakan tersebut mengikat secara umum.
Dalam kaitannya dengan law enforcement di bidang lingkungan hidup atau sumber daya alam, Koesnadi Hardjasoemantri mengemukakan, bahwa ada suatu pendapat yang keliru, yang cukup meluas di berbagai kalangan, yaitu bahwa penegakan hukum hanyalah melalui proses di pengadilan. Perlu diperhatikan, bahwa penegakan hukum dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan berbagai sanksinya, seperti sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi pidana. Dengan hal tersebut, bahwa juga seolah-olah penegakan hukum adalah suatu tanggung jawab aparat penegak hukum. Sebenarnya penegakan hukum adalah
kewajiban dari seluruh masyarakat untuk aktif berperan dalam penegakan hukum.7
Koesnadi Hardjasoemantri yang mengutip pendapat Hawkins mengemukakan, bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari 2 (dua) sistem atau strategi, yang disebut compliance dengan conciliatory style sebagai karakteristiknya, dan sanctioning dengan penal style sebagai karakteristiknya. Conciliatory style itu remedial, suatu metode social repair and maintenance, assistance of people in trouble, berkaitan dengan what is necessary to ameliorate a bad situation. Sedangkan penal control prohibits with punishment, sifatnya adalah accusatory, hasilnya binary, yaitu all or nothing, punishment or nothing. Jadi yang perlu diketahui dahulu adalah penegakan preventif, yaitu dengan pengawasan atas pelaksanaan peraturan yang ada, kemudian pengawasan preventif ini ditujukan kepada pemberian penerangan dan saran serta upaya meyakinkan seseorang dengan bijak agar lebih beralih dari suasana pelanggaran ke tahap pemenuhan ketentuan peraturan. Dalam pengawasan untuk mengatasi masalah korupsi sumber daya alam sebenarnya selain dengan berpatokan terhadap regulasi pemerintah, seyogyanya masyarakat juga dirasa sangat perlu untuk memonitoring atau memberikan informasi kepada pemerintah, serta membantu perlindungan hukum dalam rangka untuk pemberantasan tindak pidana korupsi yang ada di bumi Papua itu sendiri.
Berdasarkan paparan diatas, secara sadar dampak yang ditimbulkan mengenai tindakan korupsi sumber daya alam telah mengakibatkan banyak permasalahan yang tidak kunjung usai, terutama terhadap ekologi sumber daya alam yang kian telah habis dan punah. Oleh sebabnya mengenai regulasi dan kelembagaan yang secara optimal adalah memberikan dukungan terhadap faktor-faktor yang perlu diperhatikan secara umum agar masyarakat aktif berpartisipasi dalam pelestarian sumber daya alam tersebut dengan meningkatkan pendidikan serta penghasilan yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari khususnya di bumi papua, selain itu mengenai Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup juga harus dikinerjakan secara bersama-sama antara pemerintah dengan masyarakat.
Selain itu pemerintah harus melakukan tindakan penegakan hukum secara optimal, agar dapat mencegah praktik tindakan korupsi atau penyuapan dana terhadap pemerintah sendiri, kemudian hendaknya kegiatan pembangunan mengenai aspek lingkungan daerah khusus juga dapat di utamakan, guna dalam pelaksanaan pembangunan tersebut tidak melahirkan pelanggaran-pelanggaran yang dapat merusak ekosistem sumber daya alam itu sendiri.
D. PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengenai regulasi dan kelembagaan yang ideal untuk memberantas tindakan korupsi terhadap sumber daya alam yang terjadi di bumi papua adalah melakukan upaya penting dengan meningkatkan desentralisasi kewenangan dari Pemerintah Pusat ke tingkat provinsi dan kabupaten/kotamadya. Hal ini adalah sebagai peran utama Pemerintah Pusat dengan memberikan petunjuk dan membuat berbagai standarisasi, bukan mengendalikan secara langsung dan melakukan pengawasan dengan kebijakan khusus yang harus diikuti pada tingkat daerah, kemudian adanya penerapan tanggung jawab pemerintah yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan dalam
Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup harus dapat bertanggung jawab penuh mengenai penetapan kebijakan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup yang bersifat lintas kabupaten/atau kota. Sanksi terhadap pelaku pengerusakan sumber daya alam yang dengan cara melakukan penambangan dengan tidak menghiraukan dampak eksploitasi sumber daya alam belum dapat dikatakan berlaku secara efektif serta dipatuhi oleh pelaku penambang. Sebagaimana terkait dengan kasus Freeport di bumi Papua bila ditinjau dari Peraturan Perundang-undang yang berlaku di Indonesia atau dunia maka perusahaan tersebut dapat dikenakan sanksi yang tidak bersifat peringatan saja.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Deni Bram, “Pengantar Hukum Lingkungan”, (Seri Buku Ajar, Pusat Kajian Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jagakarsa, Jakarta Selatan). 2011. NHT. Siahaan, Hukum Lingkungan, (Jakarta: Pancuran Alam, 2006). Yoga Satrio, Hukum Lingkungan Dalam Pandangan dan Pemikiran Koesnadi
Hardjasoemanti, (Themis Jurnal Hukum Vol. 2 No. 1. Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Jagakarsa. Jakarta Selatan). 2008.
B. Media Elektronik dan Internet
Surat Permohonan Penyelidikan Terhadap PT. Freeport McMoran, terdapat di situs <http://assets.usw.org/international/USW-FCPA-Freeport.pdf>
Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat, terdapat di situs
<http://padlyrahman.multiply.com/journal/item/17>
Pengertian atau Definisi CSR – Corporate Social Responsibilty, terdapat di situs
<http://www.usaha-kecil.com/pengertian_csr.html>
C. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Peraturan Daerah Provinsi Papua Republik Indonesia tentang Pelestarian Lingkungan Hidup, PERDA No. 6 Tahun 2008.